Singgah


 Untuk kau, yang sempat singgah.

Apa kabarmu? Sudah cukup lama kita tak berkomunikasi. Jangankan berkomunikasi, saling sapa saja sudah tak pernah. Aku masih menghargaimu, entah kau bagaimana? Peduli mungkin juga sudah tidak.

Mungkin kau akan bertanya, mengapa aku menulis lagi tentangmu? Dan untuk apa? Mungkin kau mengira aku masih ingin mencuri perhatianmu dan aku ingin memperlihatkan drama untukmu. Semuanya tentu saja tidak. Aku hanya rindu kepada seseorang yang telah mengizinkanku masuk ke beranda hatinya, untuk melihat apa yang tersimpan disana, dan untuk mengambil sebongkah cinta (mungkin) untukku. Tapi entah apakah kau juga merindukanku atau tidak. Setidaknya kau sadar, ada malam tanpa tidur.

Cinta kita sebatas cinta monyet. Cinta yang tumbuh dibawah atap sekolah. Cinta yang tumbuh karena sorotan mata. Cinta yang tumbuh karena bertukar senyum manis. Dan cinta yang tumbuh karena pipiku seperti apel tiap kali mendengar namamu dan suaramu. Aku masih ingat pertama kali ku melihatmu. Kau masih menganggapku kakak kelas dan masih terlihat canggung. Aku juga masih ingat dimana aku mulai tahu siapa namamu dan mulai ingin mengenalmu jauh lebih dalam. Kau harus tahu, entah seberapa banyak aku senyum-senyum sendiri di kala itu.

Memang kau bukan cinta pertamaku atau keduaku dan bahkan kita tidak ada ikatan pasti. Tapi percayalah, kau bisa membuatku bahagia dan mengenal banyak hal. Kau orang pertama yang membuatku merasa berharga. Walau aku harus menunggu ketidakpastian itu.

Untuk kau, yang sempat singgah.

Maaf sempat membuatmu muak. Dengan kebodohanku yang terus kau nikmati. Yang sering mengganggumu di kala kau asik bermain, yang sering berdrama dengan semua masalah, dan yang selalu mengeluh kesakitan di saat sedang sakit. Tapi kau mampu membangkitkan semangatku dan menemaniku. Aku sangat bodoh dan aku hanya bisa tersenyum jika mengingat itu.

Hatiku bukan menjadi tempat wisata. Kau datang lalu pergi. Datang sebentar untuk menikmati wisatamu lalu pergi lagi. Perjalananmu yang terkadang membuatku terbang lalu jatuh. Dan terimakasih tlah menjadi turis, hanya mampir kurang lebih 365 hari, memberi bekas oleh-oleh untukku dan ketersesatan selama empat kali.

Untuk kau, yang sempat singgah.

Aku tadi bilang bahwa aku merindukanmu, ya memang benar. Walau hampir setiap hari bertemu tapi aku masih merasakan rindu karena memang keadaan yang berbeda. Tapi percayalah, aku sedang tersenyum. Tugasku selanjutnya adalah pergi lalu menghilang. Untuk tak saling mengenal mungkin lebih baik? Tidak mungkin. Aku berharap, kau tetap bahagia dengan yang baru. Dan aku juga bahagia, tapi entah dengan siapa.

Tidak semua kapal kembali ke pelabuhan. Hanya saja kapal yang mempunyai kompas yang bisa kembali. Bukannya aku dulu pernah bilang bahwa, jaga baik-baik beberapa warna-warni perahu, jangan biarkan perahu-perahu ini berlabuh di pelabuhan yang lain. Nyatanya kapal-kapal itu tidak kembali ke pelabuhanku, melainkan di pelabuhan yang lain.

Mungkin kita hanya untuk saling dipertemukan, tapi berakhir dengan ketidakmungkinan atau kita dipertemukan untuk perjalanan menuju kedewasaan. Mengapa harus ada rasa dalam pertemuan jika pada akhirnya bukan untuk menjadi kenyataan? Mengapa harus ada perasaan jika pada akhirnya hanya tersakiti? Jawaban untuk penantian yang salah.

Untuk kau, yang sempat singgah.
Cukup... aku mengalah dan aku pergi.




Jombang, 30 September 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Beloved Friend

Cappucino

Ini Adalah Harimu